Friday 24 April 2015


Klub Kajian Kopi Volume 9

Pengaruh Konsumsi Lokal Kopi Spesialti terhadap Pendapatan Petani Kopi di Indonesia

Penyelenggara
Philocoffee
Tanggal
22 April 2015
Lokasi
Philocoffee
Jl. Pondok Labu I No 10
Cilandak, Jakarta Selatan

Ihwal mengenai kesejahteraan petani menjadi isu yang penting di dalam gerakan kopi spesialti (specialty coffee). Didorong dari keinginan konsumen kelas menengah yang menginginkan konsumsi berkeadilan, banyak penggerak kopi spesialti yang berada di hilir rantai pasokan kopi (kafe dan penyangrai) mengangkat isu peningkatan mutu hidup petani sebagai nilai tambah dari kopi spesialti. Akan tetapi, peningkatan kesejateraan petani bukanlah isu yang mudah untuk dipahami. Dalam praktiknya, ihwal keuangan berkelindan erat dengan isu sosial budaya yang memberikan dimensi tersendiri dalam isu kesejahteraan petani. Belum lagi, praktik perdagangan kopi global dengan mata rantai yang panjang dan berliku menambah kompleksitas pada relasi antara aliran uang, barang, atau bahkan ilmu dan pengetahuan mengenai komoditas kopi itu sendiri pada semua simpul perdagangan. Tentunya, dari semua kompleksitas tersebut, validitas berbagai bentuk generalisasi dan simplifikasi yang selama ini beredar di hilir rantai pasok komoditas kopi dapat dipertanyakan.

Hal inilah yang dibahas dalam Klub Kajian Kopi Volume 9 (KKK-IX) untuk menilik dampak pertumbuhan konsumsi lokal kopi spesialti di area-area urban di Indonesia terhadap pendapatan petani kopi di Indonesia. Diskusi mengenai perkopian Indonesia ini kembali dilaksanakan oleh Philocoffee setelah absen selama dua tahun dengan mengundang tiga pembicara sebagai narasumber:
  1. Dr. Jeffrey Neilson, dosen dan peneliti dari University of Sydney yang telah melakukan penelitian rantai pasok kopi di Indonesia, terutama di daerah Toraja, Sulawesi sejak tahun 2001.
  2. Maryam Rodja, sociopreneur dari Baraka Nusantara yang mengolah perkebunan kopi di Sembalun, Lombok.
  3. Win Hasnawi, petani dan penjual kopi dari Qertoev Coffee yang menjual kopi dari Gayo langsung di Jakarta.
Masing-masing narasumber memberikan pandangan yang berbeda terkait dampak kopi spesialti terhadap petani kopi sesuai dengan pengalaman dan posisi masing-masing pada rantai pasok kopi.

Pada sesi pertama, masing-masing narasumber memaparkan sudut pandang masing-masing terkait tema yang dibahas. Terdapat kesepakatan dari semua narasumber bahwa pasar kopi spesialti di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup drastis dari pasar lokal selama satu dekade terakhir meskipun jumlah kuantitatif peningkatan tersebut sulit untuk dibilang karena ketiadaan data yang definitif.

Dari peningkatan konsumsi spesialti kopi di Indonesia, banyak orang yang beranggapan bahwa karena harga kopi spesialti lebih mahal, pasar kopi spesialti akan lebih menguntungkan bagi petani. Akan tetapi menurut Win Hasnawi, dalam praktiknya, meskipun harganya lebih mahal, kopi spesialti membutuhkan kerja yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama sehingga memberikan resiko yang lebih besar kepada petani sementara perbedaan harga bisa hanya Rp.500 per kilogram. Maka wajar jika petani biasanya enggan untuk melakukan pengolahan kopi menjadi kopi spesialti.

Selain itu juga, menurut Win Hasnawi, pengolahan pasca-panen kopi menjadi kopi spesialti tidak akan bisa dilakukan oleh petani perorangan sehingga umumnya petani hanya bisa menjual biji merah kepada koperasi atau perusahaan pulping untuk mengupas kopi. Jika koperasi atau perusahaan tersebut tidak memiliki fasilitas penjemuran, penjemuran biji kopi dilakukan dengan penyewaan fasilitas penjemur untuk kemudian dikupas lagi dengan huller. Untuk kopi spesialti, diperlukan proses tambahan yaitu sortasi (grading) sesuai dengan kualitas biji kopi. Karena harga alat sortasi yang sangat mahal, sortasi biji kopi biasanya dilakukan secara manual oleh pekerja yang biasanya wanita. Baru setelah melalui proses sortasi, kopi dapat dijual untuk ekspor dan kelas kopi yang terbaik bisa mendapatkan julukan spesialti. Selama proses tersebut, resiko yang mungkin timbul dari faktor alam dan ketidakstabilan harga pasaran kopi dipegang seluruhnya oleh petani dan pengolah kopi.

Dengan lamanya proses panen dan rumitnya pengolahan pasca-panen, wajar jika banyak petani yang memilih untuk menanam tanaman lain seperti bawang atau palawija yang lebih cepat panen dan menghasilkan arus kas yang lebih cepat. Bahkan, menurut Jeffrey Neilson, mengganti tanaman komoditas merupakan salah satu cara untuk petani bertahan hidup dan justru lebih menguntungkan bagi petani untuk beralih profesi menjadi pedagang. Menurut Jeffrey Neilson, jika memang ingin mendorong kesejahteraan petani kopi dari bertanam kopi, harus ada sebuah mekanisme pembagian resiko yang dilakukan oleh konsumen hilir dengan petani, seperti pembayaran uang muka kepada petani sebelum panen atau penanaman modal yang berkelanjutan di kawasan kebun kopi.

Pertambahan pembeli lokal di hilir rantai pasok kopi juga menambah dinamika tersendiri bagi perkembangan industri kopi di Indonesia. Berbeda dengan konsumen internasional yang harus memesan dalam jumlah banyak (minimal satu kontainer atau sekitar 18 ton) yang disyaratkan dalam proses ekspor, konsumen lokal dapat memesan dalam jumlah yang lebih relatif lebih kecil (500kg - 1 ton). Di satu sisi, volume yang kecil memungkinkan penyangrai kopi spesialti untuk mengeksplorasi kopi dari daerah-daerah baru tanpa mengalami kerugian yang besar. Hal ini tentunya berdampak positif bagi daerah penghasil kopi yang namanya tenggelam di bawah nama daerah yang sudah tenar. Salah satu contoh dari keberhasilan jenis transaksi ini adalah kopi dari daerah Gunung Kerinci, Jambi yang sempat tenar di kafe-kafe Jakarta atau daerah Sembalun, Lombok yang dikembangkan oleh Baraka Nusantara dari hasil eksplorasi Maryam Rodja sendiri.

Akan tetapi, di sisi lain, model eksplorasi seperti ini diakui memiliki sisi negatif oleh Jeffrey Neilson dan Win Hasnawi dari segi relasi antara penyangrai dan petani. Karena proses pengolahan kopi yang rumit seperti dijelaskan di atas, petani cenderung enggan untuk melakukan proses tersebut apabila volume permintaan tergolong kecil. Sehingga model eksplorasi tersebut biasanya baru bisa terjadi di daerah dimana proses pasca-panen kopi sudah berjalan dengan baik, bukan memperbaiki pengolahan kopi di daerah tersebut. Selain itu juga, pembelian dalam jumlah besar mendorong relasi kepercayaan yang lebih dalam dan biasanya diiringi dengan penanaman modal yang lebih berkelanjutan untuk memastikan kualitas biji kopi yang diborong. Inilah sebabnya petani kopi spesialti lebih memilih untuk mengekspor kopi daripada menjual ke pasar dalam negeri. Selain harga jual yang lebih mahal, pembeli luar negeri juga membeli dengan volume yang lebih besar.

Poin selanjutnya dari diskusi ini adalah pembicaraan mengenai tengkulak yang menjadi perantara bagi pembeli di hilir dan petani di hulu rantai pasok kopi. Berbeda dengan sentimen publik terhadap kata tengkulak, semua narasumber menganggap bahwa tengkulak memegang peranan penting dalam rantai pasok kopi sebagai penghubung antara kemauan pasar dan kemampuan petani. Selain itu juga, menurut Win Hasnawi, tengkulak memiliki peranan untuk mengurangi unsur ketidakpercayaan pada setiap transaksi. Melalui tengkulak yang umumnya sudah dikenal di daerah asal kopi, pembeli dapat memastikan kualitas dan volume kopi yang dipesan dan petani dapat memastikan pembayaran diterima. Selain itu, Jeffrey Neilsen juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang salah beranggapan bahwa pembelian langsung kepada petani akan menghasilkan harga yang lebih murah dan lebih adil kepada petani. Ternyata, dalam praktiknya, pembelian langsung justru lebih tidak efisien daripada rantai pasok yang sudah ada sehingga menghasilkan harga yang lebih mahal dengan harga beli ke petani yang sama.

Terkait tengkulak pada rantai pasok kopi, Maryam Rodja mengungkapkan bahwa permasalahan tengkulak timbul ketika perantara serakah dan memberikan harga yang tidak berkeadilan. Namun apabila tengkulak mengembangkan hubungan kerja sama dan mengembangkan daerah kebun kopi maka akan terjalin hubungan yang lebih berkelanjutan dan akan lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Hal inilah yang dicoba dibangun oleh Baraka Nusantara yang akan membuat Rumah Belajar Sankabira di Lombok untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat di Sembalun. Meskipun saat ini Baraka Nusantara masih menggunakan sistem beli-putus, Maryam Rodja mengaku bahwa saat ini sistem yang lebih berkelanjutan sedang dikembangkan oleh Baraka Nusantara untuk menjalin kerja sama yang lebih erat dengan petani.

Peran tengkulak juga diperlukan sebagai pengumpul biji kopi dari petani kopi. Menurut Jeffrey Neilsen, selama penelitiannya dia jarang melihat petani kopi yang besar, tapi yang sering teramati adalah rumah tangga yang memproduksi kopi sebagai salah satu mata pencaharian. Di lain waktu, rumah tangga tersebut bisa bekerja di tempat lain, seperti mengojek, berdagang, atau menanam tanaman lain di kebun yang mereka miliki. Bahkan, dari pengamatan Jeffrey Neilsen, penghasilan dari bertanam kopi kurang dari 50% dari komposisi penghasilan rumah tangga penghasil kopi. Hal ini tentunya menambah kompleksitas diskursus penyejahteraan petani kopi di Indonesia.

Selain itu juga, dalam diskusi ini dibahas juga isu lingkungan dan pemanasan global yang sedang terjadi saat ini. Karena kopi arabika membutuhkan area yang sejuk, pemanasan global akan mengurangi daerah yang dapat ditanami kopi arabika. Berdasarkan permodelan yang pernah dilakukan oleh Jeffrey Neilsen, pada tahun 2050 arabika akan sangat sulit ditanam di dunia karena area tanam yang memiliki iklim yang sesuai sudah sangat sempit. Namun, dari permodelan tersebut, terlihat bahwa kondisi di Indonesia lebih baik daripada negara penghasil kopi lain di dunia dengan daerah terluas berada di Sulawesi.

Isu lingkungan terkait penanaman kopi juga dibahas oleh Maryam Rodja dari pengalaman Baraka Nusantra di Sembalun. Maryam Rodja menjelaskan bahwa pada tahun 1970an daerah Sembalun berubah dari daerah penanam kopi menjadi penanam bawang putih karena alasan ekonomi. Penanaman bawang putih dilakukan dengan intensif menggunakan pupuk kimia hingga tanah daerah Sembalun jenuh. Maryam Rodja juga menjelaskan pengalaman di Gunung Malabar dimana masyarakat lebih memilih untuk menanam palawija karena alasan ekonomi. Namun, masyarakat juga menyadari peran pohon kopi sebagai pohon keras yang menahan arus air bawah tanah dan mencegah longsor. Sehingga penanaman kopi dan pohon penaungnya memiliki keuntungan sendiri.

Dari hasil diskusi selama dua jam ini, banyak hal yang disampaikan oleh semua narasumber mengenai rantai pasok kopi di Indonesia. Akan tetapi, hal-hal yang disampaikan oleh narasumber KKK-IX justru menambah pertanyaan dan memperpanjang diskusi mengenai kopi yang hampir tidak ada habisnya. Bahkan, di akhir diskusi, tercetus sebuah wacana dari peserta diskusi mengenai pendefinisian kopi spesialti yang tidak ditemukan sekarang sehingga menghasilkan banyak kebingungan pada pelaku kopi spesialti di dunia mengenai praktik kopi spesialti yang seharusnya. Namun karena keterbatasan waktu diskusi KKK-IX wacana ini tidak dibahas habis pada kesempatan ini sehingga memungkinkan pembahasan lanjutan di waktu lain.


Galeri Foto:
  

1 comments: